Yosepha Alomang: Suara Perlawanan dari Papua
Yosepha Alomang atau yang juga dikenal sebagai Mama Yosepha lahir pada 1940-an di Tsinga, Papua, dari suku Amungme. Masa kecilnya penuh kesulitan, ia kehilangan orang tua di usia muda dan harus hidup bersama keluarga tiri dalam kondisi keras. Sejak itu, ia terbiasa hidup mandiri dan tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Kehidupannya berubah ketika tanah leluhurnya diambil alih untuk tambang emas dan tembaga milik Freeport McMoRan. Aktivitas pertambangan itu menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar, hutan mulai rusak, sungai yang tercemar, serta mengusir masyarakat adat dari tanah mereka sendiri.
Pada tahun 1991, Yosepha memimpin demonstrasi besar selama tiga hari di Bandara Timika sebagai bentuk protes terhadap pemerintah dan perusahaan tambang. Aksinya ini memperlihatkan keberanian luar biasa seorang perempuan adat dalam menghadapi kekuatan yang lebih besar. Namun, perjuangannya berbuah represi. Pada 1994, ia ditangkap dan dituduh membantu gerakan Organisasi Papua Merdeka. Selama ditahan, ia mengalami penyiksaan berat dikurung di ruangan kotor penuh tinja tanpa makanan dan minuman. Meskipun menderita, Yosepha tidak menyerah dan pengalaman itu justru menguatkan tekadnya untuk terus membela hak masyarakat Amungme.
Setelah bebas, Yosepha semakin aktif memperjuangkan keadilan. Ia mendirikan Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (YAHAMAK), yang berfokus pada pendampingan korban pelanggaran HAM, pemberdayaan perempuan, serta penguatan ekonomi masyarakat adat melalui koperasi hasil pertanian. Pada 1999, perjuangannya diakui secara nasional lewat penghargaan Yap Thiam Hien Award, sebuah penghargaan bergengsi di bidang Hak Asasi Manusia. Dua tahun kemudian, pada 2001, ia meraih Goldman Environmental Prize, penghargaan internasional untuk aktivis lingkungan, berkat konsistensinya menentang praktik merusak lingkungan oleh perusahaan tambang.
Dengan dukungan dari berbagai pihak, Yosepha membangun Kompleks Yosepha Alomang di Timika. Kompleks ini terdiri dari panti asuhan, klinik, aula pertemuan, dan monumen untuk mengenang korban pelanggaran HAM di Papua. Fasilitas tersebut menjadi simbol nyata perjuangannya, bukan hanya dalam bentuk protes, tetapi juga dalam karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat.
Hingga saat ini, Yosepha Alomang dikenal sebagai simbol perlawanan perempuan Papua terhadap ketidakadilan. Perjuangannya menegaskan bahwa advokasi lingkungan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan hak asasi manusia. Warisannya menginspirasi banyak aktivis, khususnya perempuan adat, untuk terus memperjuangkan martabat, budaya, dan tanah leluhur mereka di tengah arus modernisasi dan eksploitasi besar-besaran.

Leave a Reply