
Yosepha Alomang, Suara yang Bergema dari Timika Melawan
Ketidakadilan
Ketidakadilan merupakan sebuah masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia mulai dari awal kemerdekaan hingga masa modern kini. Ketidakadilan pun kerap terjadi di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Banyak sekali warga yang didiskriminasi karena kepentingan pihak-pihak berwenang. Tetapi bagi Yosepha Alomang, ketidakadilan adalah sesuatu yang harus diberantas dan keadilan harus ditegakkan.
Yosepha Alomang, perempuan dari suku Amumgme di Timika, Papua merupakan pendiri Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (YAHAMAK) di tahun 2001. Perempuan yang kerap dipanggil Mama Yosepha ini sudah sejak lama memperjuangkan kelestarian lingkungan dan tanah masyarakat adat Timika. Yosepha memimpin unjuk rasa di bandara Timika selama tiga hari dengan menyalakan api di landasan udara untuk menolak PT. Freeport yang telah melakukan perusakan lingkungan.
Perjuangan Yosepha Alomang merupakan sebuah wujud dari ketabahan dalam menentang kekuasaan pihak berwenang, menyuarakan ketidakadilan, dan pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat Papua. Banyak nilai-nilai Pancasila dan Agama yang dapat diambil dari kisah perjuangan Yosepha Alomang.
Semenjak berdirinya perusahaan pertambangan PT. Freeport pada tahun 1967 atas izin pemerintah indonesia, hutan-hutan menjadi hancur dan sungai menjadi tercemar. Freeport sendiri membuang setidaknya 200.000 ton limbah ke sungai-sungai setiap hari dan polusi menjadi tersebar kemana-mana di tempat tinggal masyarakat setempat. Di sisi lain, tentara Indonesia berulang kali secara brutal menekan pada demonstran yang secara damai menolak perusahaan tambang tersebut. Yosepha mengorganisir Koperasi Kulakok bersama perempuan adat dengan bantuan gereja katolik untuk menjual hasil kebun yang mereka tanam dan menghancurkan sayuran serta buah yang dibeli Freeport dari luar Papua. Sayangnya, perjuangan Yosepha tidak mulus, pada tahun 1994 Yosepha ditangkap para tentara karena dianggap membantu anggota Organisasi Papua Merdeka. Yosepha ditempatkan di tempat pembuangan tinja dan urin selama sebulan dengan makanan yang dilempar ke dalam tinja dan ia harus memakannya. Tetapi Yosepha tetap tabah, setelah bebas ia menuntut perusahaan Freeport di Amerika dan mengajukan ganti rugi atas eksploitasi lingkungan.
Melalui perjuangan yang begitu panjang, Yosepha Alomang akhirnya berhasil memojokkan PT. Freeport dan mendapatkan ganti rugi sebanyak 248.000 US Dollar. Yosepha Alomang mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 1999 dan Goldman Environmental Prize pada tahun 2000 atas usahanya dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan lingkungan. Meskipun telah berhasil menyingkirkan PT. Freeport, perjuangan Yosepha Alomang tidak berhenti disitu. Ia melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR Jayapura menuntut kerusakan bendungan Wanagon di Timika pada tahun 2000 dan menuntut Freeport keluar dari Indonesia. Yosepha juga mendirikan YAHAMAK untuk menegakkan hak asasi manusia dan membebaskan rakyat Papua yang disiksa dan ditahan militer.
Perjuangan Mama Yosepha merupakan cerminan nyata dari pengamalan sila Pancasila, khususnya sila Kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” dan Sila Kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Ia memperjuangkan hak masyarakat Papua untuk diperlakukan secara manusiawi dan adil, menuntut distribusi keadilan yang tidak hanya dinikmati oleh para elit. Dari perspektif agama, tindakannya mencerminkan semangat “berpihak pada yang lemah” (option for the poor). Perjuangan beliau mengingatkan kita pada Santo Vinsensius, yang awalnya dia ingin menjadi pastor karena uang, lalu bertobat dan mengutamakan mereka yang miskin dan tertindas. Perlawanannya terhadap keserakahan yang merusak lingkungan sejalan dengan prinsip menjaga harmoni antara manusia dan ciptaan.
Yosepha Alomang lebih dari sekadar aktivis. Dirinya adalah seorang pahlawan lingkungan dan pejuang HAM di masa modern. Kisahnya adalah bukti nyata bagaimana seorang individu dengan ketabahannya dapat melawan kekuatan absolut. Di era dimana isu keadilan lingkungan dan HAM semakin mendesak, teladan Yosepha menjadi sangat relevan. Ia mengajarkan kita bahwa kita harus membela kebenaran, meskipun berisiko tinggi. Semangatnya yang membara harus bergema tidak hanya di Timika, tetapi di seluruh penjuru Nusantara, menginspirasi setiap warga negara untuk tidak tinggal diam menyaksikan ketidakadilan, dan bersama-sama membangun Indonesia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Leave a Reply